Kategori
Edukasi

7 Pesan Mulia dalam Q.S. al-Maidah/5: 48 Menurut Tafsir Al-Misbah

Mengutip buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas X, pesan utama dari Q.S. al-Maidah/5: 48 menurut tafsir al-Misbah adalah bahwa Al-Qur’an merupakan kitab pembenar sekaligus tolok ukur kebenaran yang menuntun manusia untuk menyikapi keragaman syariat dengan cara berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan.

Surat Al-Maidah ayat 48 merupakan salah satu ayat fundamental dalam Al-Qur’an yang membahas posisi Al-Qur’an terhadap kitab-kitab suci sebelumnya serta memberikan pedoman universal bagi umat manusia.

Ayat ini mengandung pesan-pesan mendalam tentang kebenaran, hukum, dan tujuan hidup.

Seperti yang dikutip dari buku Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMA/SMK Kelas X, penulis Ahmad Tauik dan Nurwastuti Setyowati, penjelasan mengenai ayat ini menurut tafsir al-Misbah mengungkapkan setidaknya tujuh pesan mulia yang relevan sepanjang zaman.

Berikut 7 pesan mulia dalam Q.S. al-Maidah/5: 4 menurut tafsir Al-Misbah:

1. Al-Qur’an Diturunkan dengan Kebenaran Mutlak (Haq)

Pesan pertama menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. dengan membawa kebenaran (bil-haq).

Kebenaran ini bersifat mutlak dan menyeluruh, mencakup tiga aspek utama.

Pertama, kebenaran pada isinya, di mana setiap ajaran, kisah, hukum, dan informasi di dalamnya adalah benar tanpa keraguan.

Kedua, kebenaran dalam cara ia diturunkan, yakni melalui wahyu yang suci.

Ketiga, kebenaran pada sosok yang mengantarkannya, yaitu Malaikat Jibril a.s., malaikat yang terpercaya dan kuat, kepada Nabi Muhammad Saw. yang memiliki sifat al-amin (terpercaya).

2. Al-Qur’an Membenarkan Kitab-Kitab Suci Terdahulu

Al-Qur’an berfungsi sebagai mushaddiqan, atau pembenar terhadap kitab-kitab suci yang diturunkan sebelumnya, seperti Taurat kepada Nabi Musa a.s., Zabur kepada Nabi Daud a.s., dan Injil kepada Nabi Isa a.s.

Dalam hal ini, Al-Qur’an mengonfirmasi kebenaran ajaran-ajaran pokok dan universal yang ada dalam kitab-kitab tersebut, terutama ajaran tauhid (mengesakan Allah).

Ia menjadi saksi bahwa risalah para nabi sebelumnya berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah Swt.

3. Al-Qur’an sebagai Pengawas dan Tolok Ukur Kebenaran (Muhaimin)

Inilah salah satu fungsi terpenting Al-Qur’an. Kata muhaimin memiliki makna yang sangat luas: sebagai pengawas, pemelihara, penjaga, dan tolok ukur.

Sebagai pengawas, Al-Qur’an “mengawasi” ajaran kitab-kitab sebelumnya dan meluruskan bagian-bagian yang telah diubah, disembunyikan, atau dilupakan oleh manusia.

Sebagai pemelihara, ia menjaga prinsip-prinsip ajaran ilahi yang universal agar tetap murni.

Dan sebagai tolok ukur, Al-Qur’an menjadi standar final untuk menentukan kebenaran suatu ajaran agama.

Apa yang sesuai dengannya adalah benar, dan yang bertentangan dengannya dianggap tidak lagi relevan.

4. Menjadikan Al-Qur’an sebagai Pedoman Hidup dan Hukum

Setelah menegaskan kedudukan Al-Qur’an, Allah Swt. memerintahkan Nabi Muhammad Saw. dan seluruh umat Islam untuk memutuskan segala perkara berdasarkan wahyu yang telah diturunkan.

Ini adalah perintah untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup utama.

Umat Islam dilarang mengikuti hawa nafsu atau keinginan pribadi/kelompok dengan meninggalkan kebenaran Al-Qur’an.

Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S. al-Maidah/5: 3, Islam telah disempurnakan oleh Allah Swt., sehingga tidak ada alasan lagi untuk mencari pedoman hidup dari sumber lain.

5. Setiap Umat Memiliki Aturan (Syariat) dan Jalan (Manhaj)

Ayat ini mengakui adanya keragaman dalam syariat. Allah Swt. menyatakan bahwa untuk setiap umat, Dia memberikan syir’atan wa minhaja (aturan dan jalan yang terang).

Syariat merujuk pada hukum-hukum formal yang spesifik untuk suatu umat pada masanya, sedangkan manhaj adalah jalan atau metodologi yang terang dan jelas untuk melaksanakan syariat tersebut.

Keragaman ini bukanlah sebuah kebetulan, melainkan ketetapan Allah yang penuh hikmah.

6. Syariat Islam sebagai Penyempurna dan Pembatal Syariat Terdahulu

Meskipun setiap umat memiliki syariatnya masing-masing, Allah Swt. dengan jelas menetapkan bahwa syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. adalah penyempurna dan sekaligus membatalkan (nasakh) syariat-syariat sebelumnya.

Seandainya Allah berkehendak, sangat mudah bagi-Nya untuk menjadikan seluruh manusia sebagai satu umat dengan satu syariat saja. Namun, Allah tidak menghendakinya.

Perbedaan ini diciptakan sebagai bentuk ujian bagi manusia.

7. Perintah untuk Berlomba-lomba dalam Kebaikan (Fastabiqul Khairat)

Ini adalah puncak dari pesan-pesan sebelumnya. Mengingat adanya keragaman syariat yang merupakan ujian dari Allah, maka sikap yang harus diambil bukanlah berdebat kusir atau berselisih tanpa akhir.

Sebaliknya, Allah memerintahkan kita untuk “fastabiqul khairat” atau berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan.

Fokus energi kita seharusnya diarahkan pada kompetisi yang positif: siapa yang paling taat, paling bermanfaat bagi sesama, dan paling baik amalnya.

Pada akhirnya, semua manusia akan kembali kepada Allah, dan di sanalah Dia akan memberitahukan hakikat dari segala sesuatu yang dahulu mereka perselisihkan, serta memberikan balasan yang adil atas setiap perbuatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *