Kategori
Edukasi

Bagaimana bentuk pembelajaran yang menerapkan CASEL di kelas yang diampu?

Sebagai pendidik, saya menerapkan kerangka kerja CASEL dengan mengintegrasikan lima kompetensi intinya—kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berhubungan, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab—ke dalam rutinitas kelas, metode pengajaran, dan interaksi sehari-hari untuk membangun lingkungan belajar yang positif.

Bagaimana bentuk pembelajaran yang menerapkan CASEL di kelas yang diampu?

Jawaban:

Sebagai seorang pendidik, saya memandang penerapan Kerangka Kerja CASEL bukan sebagai tambahan kurikulum, melainkan sebagai cara saya mengelola dan menghidupkan suasana kelas setiap hari.

Pembelajaran ini saya wujudkan dengan mengintegrasikan lima kompetensi inti CASEL ke dalam rutinitas, metode pengajaran, dan interaksi saya dengan para siswa.

Tujuannya adalah membangun lingkungan belajar yang positif di mana setiap siswa merasa aman, dihargai, dan terdorong untuk berkembang secara akademis maupun emosional.

Pertama, saya akan fokus pada Kesadaran Diri (Self-Awareness). Di awal pembelajaran setiap pagi, saya memulainya dengan kegiatan “check-in emosi”.

Saya bisa menggunakan papan dengan berbagai ikon emosi atau “roda perasaan” di mana siswa dapat menunjuk atau menuliskan bagaimana perasaan mereka hari itu.

Kegiatan ini membantu siswa mengenali dan memberi nama pada emosi mereka.

Selain itu, saya akan memberikan waktu beberapa menit bagi siswa untuk menulis jurnal singkat, merenungkan kekuatan yang mereka miliki atau tantangan yang sedang mereka hadapi.

Dengan cara ini, saya membantu mereka memahami diri sendiri secara lebih mendalam.

Selanjutnya, saya membimbing siswa dalam Manajemen Diri (Self-Management). Ketika saya melihat suasana kelas mulai tegang atau saat akan menghadapi ujian, saya akan mengajak siswa melakukan latihan pernapasan sederhana selama satu atau dua menit.

Saya juga menyediakan sebuah “pojok tenang” di salah satu sudut kelas, lengkap dengan bantal dan beberapa alat sensorik sederhana, di mana siswa dapat menenangkan diri sejenak jika merasa kewalahan.

Dalam pengerjaan tugas, saya mengajarkan mereka cara memecah proyek besar menjadi langkah-langkah kecil yang lebih mudah dikelola, sehingga mereka belajar menetapkan dan mencapai tujuan secara mandiri.

Untuk membangun Kesadaran Sosial (Social Awareness), saya merancang kegiatan pembelajaran yang mendorong siswa untuk memahami sudut pandang orang lain.

Dalam pelajaran bahasa atau IPS, misalnya, saya sering menggunakan cerita atau studi kasus yang menampilkan karakter dari latar belakang yang berbeda.

Kemudian, saya akan memfasilitasi diskusi kelompok di mana siswa diminta untuk menempatkan diri mereka pada posisi karakter tersebut.

Kegiatan seperti ini melatih empati dan kemampuan mereka untuk menghargai perbedaan di antara teman-temannya.

Kompetensi berikutnya adalah Keterampilan Berhubungan (Relationship Skills), yang saya latih melalui kerja kelompok yang terstruktur.

Saya tidak hanya membagi mereka ke dalam kelompok, tetapi juga memberikan peran yang jelas (misalnya, pencatat, juru bicara, penjaga waktu) untuk memastikan semua anggota berpartisipasi.

Saya secara eksplisit mengajarkan cara berkomunikasi dengan hormat, seperti mendengarkan secara aktif saat teman berbicara dan memberikan umpan balik yang membangun.

Saat terjadi konflik kecil antar siswa, saya memfasilitasi proses mediasi sederhana agar mereka belajar menyelesaikan masalah secara damai.

Terakhir, saya melatih siswa dalam Pengambilan Keputusan yang Bertanggung Jawab (Responsible Decision-Making).

Kompetensi ini saya integrasikan ke dalam berbagai mata pelajaran. Misalnya, dalam pelajaran IPA, saat membahas isu lingkungan, saya akan mengajak siswa menganalisis konsekuensi dari berbagai tindakan manusia terhadap alam.

Saya juga sering memberikan dilema etis sederhana yang relevan dengan kehidupan mereka, lalu meminta mereka untuk mempertimbangkan berbagai pilihan dan dampak dari setiap pilihan tersebut bagi diri sendiri dan orang lain sebelum memutuskan solusi terbaik.

Peran saya sebagai guru menjadi pusat dari semua ini. Saya berusaha menjadi teladan dengan menunjukkan kesadaran diri dan manajemen emosi saya sendiri, berkomunikasi dengan penuh empati, dan membangun hubungan yang positif dengan setiap siswa.

Saya secara aktif mendengarkan keluh kesah mereka dan mengakui perasaan mereka tanpa menghakimi.

Dengan demikian, saya tidak hanya mengajarkan konsep, tetapi juga menunjukkan bagaimana keterampilan sosial dan emosional ini diterapkan dalam kehidupan nyata.

Tujuan utama dari pendekatan ini adalah menciptakan sebuah ekosistem kelas yang suportif.

Sebuah tempat di mana siswa tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kecerdasan emosional untuk menghadapi tantangan, membangun hubungan yang sehat, dan menjadi individu yang peduli serta bertanggung jawab.

Pembelajaran menjadi lebih bermakna karena setiap siswa merasa terhubung dengan dirinya sendiri, teman-temannya, dan komunitas belajarnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *