Adat adalah bagian dari budaya, yang beradaptasi sesuai interaksi dan respon kepada situasi internal dan sekitar para pelaku budaya tersebut.
Adat yang tidak mampu beradaptasi, akan tinggal menjadi artefak, yang hanya indah romantis dalam kenangan nostalgia, diawetkan di museum-museum dan ingatan kolektif antar generasi. Tidak terkecuali adat Batak Toba.
Salah satu nilai budaya yang menjadi kebanggaan orang Batak Toba yaitu sistem hubungan sosial dalihan na tolu yang terwujud dalam hubungan kekerabatan yang sangat kental berdasarkan keturunan darah (genealogis) dan perkawinan yang berlaku secara turun-temurun hingga sekarang ini.
Sebagai sistem budaya, dalihan na tolu atau sering juga diterjemahkan dengan istilah tungku nan tiga–pengertian tungku nan tiga dalam budaya Batak ini tentu akan berbeda pengertian dan maknanya dengan nilai budaya lain yang ada di Sumatera, seperti tungku tiga sejarangan, benang tiga sepilin, payung tiga sekaki, dan lain sebagainya-berfungsi sebagai pedoman yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada tata laku (perilaku) dan perbuatan (sikap atau pola tindak) orang Batak Toba.
Oleh karena itu dalihan na tolu merupakan satu sistem budaya yang bagi orang Batak Toba nilai yang dikandungnya dijadikan tatanan hidup dan sekaligus menjadi sumber motivasi berperilaku.
Orang Batak Toba menghayati dalihan na tolu sebagai satu sistem nilai budaya yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi, dan definisi terhadap kenyataan atau realitas (Harahap dan Siahaan, 1987).
Upacara adat Batak tampak perasaan komunal berdasarkan prinsip Dalihan Na Tolu, dan kalau tidak berdasarkan Dalihan Na Tolu bukan adat Batak itu (Nalom Siahaan).
Pihak pengundang, baik suami maupun istri dinamai suhut. Sisuami tidak bisa dipisahkan dari semua saudara lelakinya (satu marga), berserta istri masing-masing.
Mereka itu semua adalah suhut, dinamai hal itu sisada hasuhuton sehingga untuk membedakan disebut tuan rumah itu suhut tangkas (suhut takkas) atau suhut sihabolonan (tuan rumah). Suhut sihabolonan sifatnya pasif dalam mengatur acara-acara.
Ia hanya diberi kesempatan mangampu yaitu mengucapkan terima kasih kepada para hadirin sebelum berakhir upacara itu.
Yang mewakilinya terhadap dongan sabutuha dinamai suhut paidua.
Dalam pesta adat yang diadakan di rumah, dia itu boleh saudara semarga yang masih turunan satu kakek dengan tuan rumah, sedang dalam pesta kawin atau upacara kematian biasanya yang lebih jauh lagi hubungan darahnya dengan tuan rumah.
Sahabat karib tuan rumah, yang bukan kerabat semarga, tidak boleh mewakili tuan rumah dalam upacara adat, tanggung jawab secara resmi dalam setiap upacara adat Batak, baik ke dalam maupun keluar ialah dongan sabutuha/dongan tubu (satu marga).
Dalam pesta adat di rumah hanya satu pihak pengundang, yaitu tuan rumah.
Pihak mertua tidak hanya mengajak dongan sabutuha dari pihaknya untuk menyertainya, tetapi selalu turut juga boru dari pihaknya.
Di rumah tempat upacara itu dilakukan duduk diatas tikar dua pihak berhadap-hadapan.
Pada baris panjang duduk suhut, didampingi dongan sabutuha serta boru dari pihaknya.
Demikian juga pihak mertua (besan) juga didampingi oleh dongan sabutuha dari pihaknya, kesemuanya merupakan hula-hula dari tuan rumah dan selain itu ada juga boru dari pihak mertua tersebut.
Dibona pasogit setiap rombongan itu berbaris mulai dari gerbang kampung menuju rumah pengundang tersebut, dan biasanya disambut di depan rumah itu oleh pihak boru tersebut sambil berdiri.
Kaum wanita dalam rombongan tadi semuanya menjunjung semacam supit yang dinamai tandok berisi beras, Beras ini dinamai beras sipirni tondi, artinya, beras penguatkan jiwa, sengaja beras itu diatas kepala supaya mengandung kekuatan magis.
Memang beras mengandung makna yang dalam menurut alam pikiran para leluhur, yakni melambangkan cita-cita yang terkandung dalam pantun, “Horas tondi madingin, pir tondi matogu”, yang dapat disimpulkan dengan satu kata saja, yakni Horas (artinya selamat).
Ada lagi yang disodorkan oleh mertua dalam suatu acara khusus kepada sang menantu, yaitu ikan mas di atas baki, yang kita namai saja dekke sitio-tio.
Ikan itu melambangkan kesuburan karena banyak telurnya.
Masyarakat Batak mendambahkan berkembang biak keturunan dan berbuah atau berhasil apa yang hendak dikerjakan untuk hidup sehari-hari, yang dapat disimpulkan dengan satu kata, yaitu Gabe.
Ulos juga dari pihak hula-hula, yang diletakkan diatas kedua lengan boru untuk menghangatkan tubuh dan jiwa, merupakan perlambang dari totalitas kosmos.
Semua itu disampaikan hula-hula dalam setiap upacara adat adalah sesuai dengan semboyan yang berbunyi Horas Jala Gabe, yang dapat kiranya diterjemahkan dengan “Selamat serta sejahterah” dalam bahasa Indonesia.
Pihak tuan rumah sebagai boru tidak hanya menerima saja, tetapi harus memberi juga daging bermakna (na margoar).
Biasanya berupa kerbau atau babi dikalangan orang Batak yang beragama Kristen atau Kambing dikalangan orang Batak yang beragama Islam.
Na margoar tadi setelah selasai makan bersama dibagi kepada para pihak sesuai dengan aturan yang berlaku yang dinamai jambar.
Jambar adalah bagian yang harus dibagi-bagikan dan diterima oleh setiap kelompok kerabat berdasarkan perasaan komunal sesuai adat Dalian Na Tolu.
Selain Jambar tadi masih ada jambar hata, yaitu hak angkat bicara.
Sebagai penutup dalam sertiap upara adat ialah marhata, yaitu dialog resmi di antara boru di satu pihak dan hula-hula di pihak lain, Sudah barang tentu yang angkat bicara ialah dongan sabutuha dari pihak yang satu, demikian juga dari pihak yang lain ialah dongan sabutuha dari hula-hula tersebut.
Tentu saja boru dari masing-masing pihak, demikian pula hula-hula atau tulang lain kalau ada, turut dilibatkan dalam dialaog itu.
Marhata adalah acara penutup dari setiap adat, juga merupakan puncak dalam setiap upacara adat.
Tanpa ada acara marhata tersebut bukanlah upacara adat namanya.
Dialog itu sudah standar tata caranya dari zaman ke zaman.
Sering kita dengan dalam setiap upacara adat Batak semboyan yang berbunyi MANAT MARDONGON TUBU, ELEK MARBORU, SOMBAH MARHULA-HULA, artinya “Hendaklah hati-hati bicara dengan teman semarga, jangan suka bertengkar!.
Terhadap boru bijak meminta agar mereka melayani dengan baik, Berhadapan dengan hula-hula haruslah dengan sikap hormat dan santun!.
Setiap orang Batak diberikan gelar dalam upacara adat.
Kadang-kadang ia raja atau hula-hula dan di lain waktu ia menjadi boru melayani para hula-hula, pada waktu acara yang lain ia menjadi raja ni hula-hula, dan acara lainnya ia menjadi raja ni dongan sahuta.
Biar pangkatnya Jenderal tetapi hal ini tidak berlaku dalam suatu upacara adat, tetapi statusnya yang disebut tadi.
Prinsip yang masih dianut dalam masyarakat adat Batak ialah sisoli-soli do adat, artinya sebagai suatu unit gotong royong dalam upacara-upacara adat maka masing-masing anggotanya haruslah rajin berpartisipasi.
Orang yang rajin berpartisipasi akan dibalas demikian kalau ia pada suatu waktu pesta adat, akan tetapi orang yang malas berpartisipasi, walaupun ia kaya raya atau tinggi pangkatnya, pestanya akan sepi.
Lain halnya kalau ada kesedihan, misalnya rumah terbakar atau anaknya meninggal atau orang yang belum mempunyai cucu meninggal (pria atau wanita).
Dalam hal ini tidak berlaku pepata atau umpatan bahwa yang bersangkutan tidak mau berjumpa sampai mati (pajumpang di tano narara), sepontanitas turut menunjukkan keperihatinan walaupun orang yang ditimpa kesedihan tadi malas berpartisipasi dalam upacara- uapacara adat atau pernah timbul perselesihan yang gawat dengan orang yang bersangkutan, dengan harapan semoga orang tersebut berubah kelakuannya.
Di bona pasogit pesta adat biasanya dimulai pada pagi hari sebelum tengah hari (di parnangkok ni mataniari).
Akan tetapi karena kesibukan di daerah perantauan pada umumnya dan di Jakarta pada khususnya, hal ini sulit dilaksanakan.
Sudah menjadi semacam tradisi jam makan mulai kira-kira jam 12.00 kalau pesta itu siang hari, dan kira- kira jam 19.00 malam kalau di rumah itu pada malam hari.
Sesuai dengan faktor lingungan juga pesta perkawinan di perkotaan lebih sering diadakan pada hari Jumat dan Sabtu atau pada hari libur lainnya.
Pesta adat di rumah lebih sering diadakan hari Minggu dan hari libur lainnya.
Bagi orang Batak Toba salah satu ciri khas dalihan na tolu yang dinilai tinggi adalah sistem kekerabatan dalam konteks keluarga luas (umbilineal).
Dalam konteks ini dalihan na tolu berperan mengatur hubungan sosial di antara tiga kerabat secara fungsional, yaitu kerabat semarga (dongan tubu), kerabat semarga suami atau disebut boru, dan kerabat semarga keluarga yang menyerahkan putrinya untuk dipersunting atau yang disebut dengan hula-hula.
Perlu kita ketahui bahwa marga dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba, demikian juga orang Minang, berdasarkan keturunan sedarah (genealogis) berbeda dengan pengertian fam yang ada di daerah lain, pengalaman penulis 5 tahun berdomisili di Manado pertama kali kaget ketika acara perkawinan satu marga (fam), setelah mencari tau bahwa beberapa tempat marga disana berbeda dengan makna marga di Batak Toba, ternyata di Minahasa satu keluarga ayah, ibu dan anak-anak dapat kita temui ada dua macam marga, diantara mereka ada yang mememilih fam ayah dan ada pula yang memili fam ibu dibelakang nama babtis mereka.
Batak Toba perkawinan semarga bagi orang Batak sangat dilarang meskipun daerah asal mereka berbeda.
Apabila terjadi perkawinan orang Batak dengan orang suku lain mereka akan melakukan upacara adat untuk orang tersebut agar dapat diberikan marga tertentu dari salah satu marga orangtuanya.
Secara operasional hubungan sosial yang dibangun dalam sistem budaya dalihan na tolu dilakukan dalam bentuk perilaku hati-hati kepada kerabat semarga atau disebut manat mardongan tubu, perilaku membujuk kepada pihak penerima isteri atau yang dikenal dengan istilah elek marboru, dan berperilaku santun kepada besan atau dikatakan juga sebagai somba marhula-hula.
Oleh karena itu, bagi orang Batak Toba pengejawantahan hubungan sosial yang ada dalam budaya dalihan na tolu menuntut adanya kewajiban individu untuk bersifat dan berperilaku pemurah kepada orang yang memiliki hubungan kerabat, yaitu dongan tubu, boru, dan hula-hula.
Orang Batak Toba mempunyai tingkat kepatuhan dan ketaatan dalam hubungan sosial sebagaimana yang diatur dalam struktur budaya dalihan na tolu sehingga dipersepsi sebagai salah satu cara atau metode dalam pencapaian kehidupan.
Nilai budaya ini dijadikan sebagai pandangan dan sekaligus tujuan hidup yang dapat dirumuskan sebagai satu rangkaian tiga kata, yaitu kekayaan (hamoraon), banyak keturunan atau banyak anak laki-laki dan perempun (hagabeon), dan kehormatan (hasangapon).
Rangkaian ketiga kata tersebut diungkapkan dalam petuah adat yang berbunyi molo naeng ho mamora, elek ma ho marboru, asa diurupi ulaon mu, molo naeng ho gabe, somba maho (hormat dan santun) marhula-hula agar diberikan berkat melalui doa mereka supaya engkau diberikan keturunan oleh Tuhan, molo naeng ho sangap manat (berhati-hati) ma ho mardongan tubu (kerabat semarga) agar mereka mendukung engkau dalam banyak hal.
Berdasarkan petuah tersebut orang Batak Toba dalam sistem budaya dalihan na tolu dituntut berperilaku tolong-menolong atau peduli terhadap kerabat pada setiap kesempatan dan perilaku tersebut bagi orang Batak Toba dipersepsi sebagai nilai yang tinggi dan merupakan pula satu perbuatan yang mulia serta luhur (Pasaribu, 2004).
Dalam kehidupan sehari-hari, secara umum orang Batak Toba mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai budaya dalihan na tolu.
Hal ini dapat kita lihat bagaimana mereka secara konsisten mematuhi nilai budaya yang diwarisi oleh leluhurnya tersebut, seperti yang terungkap dalam pantun berikut ini : omputta na di jolo martungkot siala gundi, adat na pinukka ni parjolo ingkon ihuthonon ni parpudi.
Petuah yang terungkap dalam pantun ini mempunyai makna yang dalam sekali, yaitu semua tata aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur mereka harus dituruti dan ditaati serta dilaksanakan secara turun-temurun.
Oleh karena itu, seluruh tatanan nilai adat dan budaya dalihan na tolu oleh orang Batak Toba dianggap suci.
Mereka juga beranggapan bahwa budaya ini mempunyai nilai sakralitas dalam membangun hubungan sosial bagi kehidupan.
Hal ini terungkap dalam petuah adat yang mereka dapat dari leluhurnya : martagan sipiliton, maransimun so bolaon, adat ni ama dohot ompu tokka siuban.
Nilai yang terkandung dalam petuah adat ini mengisyaratkan adanya satu kepatuhan dan ketaatan kepada leluhur bahwa adat yang telah diwarisi oleh leluhur sesunguhnya tidak dapat diubah.
Dapat dimaknai bahwa kearipan lokal (local wisdom) masyarakat Batak adalah masyarakat adat.
Masyarakat seremonial. Hampir seluruh siklus kehidupannya, mulai dari ada dalam kandungan, lahir, babtis, sidi, menikah, mengunjungi orang tua, meresmikan rumah baru, pesta tugu, meninggal, panakkok saring-saring, dan lain sebagainya sarat dengan tradisi adat.
Berbicara adat, maka intinya akan melibatkan horong dalihan na tolu, paopat sihal-sihal, dan adat suhi ni ampang na opat.
Beragam dan banyak kegiatan orang Batak terkait dengan berbagai pesta adat istiadat orang Batak Toba melibatkan banyak orang, pasti terkait dengan dalihan na tolu (Satu marga dengan yang mempunyai hajatan (dongan tubu), marga keluarga besar istir/ibu (hula-hula/tulang), dan keluarga adik atau kakak yang hajatan (boru), sedangkan tetangga pada dasarnya sebagai pendukung acara pesta dimaksud.
Selain itu pada setiap Acara Adat Batak menggunakan Pantun (umpasa), Tudu-tudu Sipanganon, Ulos dan seringkali didalamnya ada musik Gondang dan Uning-Uningan.
Dari sekian banyak acara Adat Batak Toba, akan diuraikan acara adat yang sering dan sakral oleh masyarakat Batak Toba dan pihak lainnya yang ada keterkaitan dengan acara dimaksud, sejak lahir sampai dengan meninggal dunia sebagaimana akan dibahas dalam buku ini secara ringkas dan sederhana serta muda dipahami.
Sumber: Panduan Acara Adat Batak Toba Sejak Lahir Sampai Dengan Meninggal Dunia oleh Dr Christianus Manihuruk SE MM MH.