Hal apa yang perlu diperhatikan dalam penerapan experiential learning?
Jawaban:
Sebagai seorang pendidik, saat saya hendak menerapkan experiential learning atau pembelajaran berbasis pengalaman di dalam kelas, ada beberapa hal mendasar yang perlu saya perhatikan secara saksama.
Penerapan metode ini menuntut persiapan dan kesadaran yang lebih dari sekadar melaksanakan sebuah aktivitas.
Fokus utamanya adalah bagaimana sebuah pengalaman dapat diubah menjadi pemahaman yang mendalam dan bermakna bagi setiap peserta didik.
Pertama, saya harus memulainya dengan perancangan tujuan pembelajaran yang sangat spesifik. Saya perlu bertanya pada diri sendiri, “Kompetensi, pengetahuan, atau sikap apa yang saya harapkan dapat dibangun oleh peserta didik melalui pengalaman ini?”
Tujuan yang jelas akan menjadi kompas saya dalam merancang aktivitas, memfasilitasi proses, hingga melakukan penilaian.
Tanpa tujuan yang terukur, sebuah kegiatan yang menarik sekalipun berisiko hanya menjadi permainan yang menyenangkan tanpa memberikan dampak pembelajaran yang signifikan.
Pengalaman yang dirancang harus secara langsung terhubung dengan kurikulum dan target capaian pembelajaran.
Selanjutnya, saya perlu merancang sebuah pengalaman yang otentik dan relevan dengan dunia peserta didik.
Sebuah pengalaman akan menjadi kuat apabila peserta didik dapat merasakan keterkaitannya dengan kehidupan nyata mereka.
Misalnya, daripada hanya menjelaskan konsep permintaan dan penawaran, saya bisa merancang simulasi pasar di dalam kelas.
Saya juga harus mempertimbangkan keamanan, baik secara fisik maupun psikologis.
Saya bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi peserta didik untuk bereksplorasi, mencoba hal baru, bahkan melakukan kesalahan tanpa merasa dihakimi.
Peran saya sebagai guru juga mengalami pergeseran mendasar. Dalam penerapan experiential learning, saya tidak lagi menjadi pusat dari sumber pengetahuan, melainkan bertindak sebagai seorang fasilitator.
Tugas saya adalah memantik rasa ingin tahu, memberikan arahan awal, dan menyediakan sumber daya yang dibutuhkan.
Selama proses berlangsung, saya akan lebih banyak mengamati, mendengarkan, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan pemantik yang dapat mendorong peserta didik untuk berpikir lebih dalam, bukan memberikan jawaban secara langsung.
Fleksibilitas menjadi kunci; saya harus siap menyesuaikan rencana ketika dinamika di lapangan menuntut hal tersebut.
Tahap refleksi saya pandang sebagai jantung dari keseluruhan proses experiential learning.
Setelah peserta didik menjalani sebuah pengalaman konkret, saya wajib menyediakan waktu dan struktur yang memadai bagi mereka untuk merefleksikannya.
Saya akan memandu mereka dengan pertanyaan seperti, “Apa yang terjadi tadi?”, “Apa yang kamu rasakan saat melakukannya?”, “Mengapa hasilnya bisa seperti itu?”, dan “Apa yang kamu pelajari dari kejadian tersebut?”.
Proses refleksi ini dapat dilakukan melalui diskusi kelompok, penulisan jurnal, atau presentasi. Tanpa adanya fase refleksi yang terstruktur, pengalaman yang telah dilalui hanya akan menjadi kenangan sepintas, bukan sebuah pembelajaran.
Setelah proses refleksi, tugas saya berikutnya adalah membimbing peserta didik untuk menghubungkan pengalaman mereka dengan konsep-konsep teoretis yang lebih luas (konseptualisasi abstrak).
Saya akan membantu mereka menarik benang merah antara apa yang mereka alami dengan teori yang ada di buku teks atau materi ajar.
Langkah ini membantu menguatkan pemahaman mereka secara kognitif.
Sebagai puncaknya, saya akan mendorong mereka untuk memikirkan bagaimana pengetahuan baru ini dapat diterapkan dalam situasi yang berbeda di masa depan (eksperimentasi aktif), sehingga siklus pembelajaran dapat terus berlanjut.
Terakhir, saya harus memikirkan pendekatan penilaian yang holistik. Menilai pembelajaran berbasis pengalaman tidak cukup hanya dengan tes tulis konvensional.
Saya perlu menggunakan berbagai instrumen penilaian, seperti rubrik observasi untuk menilai keterampilan proses dan kolaborasi, penilaian portofolio untuk melihat perkembangan refleksi mereka dari waktu ke waktu, atau penilaian unjuk kerja untuk mengukur kemampuan mereka dalam mengaplikasikan konsep yang telah dipelajari.
Penilaian harus berfokus pada proses dan pemahaman, bukan semata pada hasil akhir.