Kerjakan dalam format laporan kasus berdasarkan hasil pengamatan di Sekolah Dasar Inklusi dan kajian literatur !
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat.
Penyelenggaraan pendidikan inklusi diharapkan mampu mencetak generasi penerus yang dapat memahami dan menerima segala bentuk perbedaan dan tidak menciptakan diskriminasi dalam kehidupan masyarakat ke depannya.
Akan tetapi ketidaksesuaian antara pihak sekolah sebagai pelaksana program dengan pemerintah sebagai pihak yang mencanangkan program menyebabkan proses penyelenggaraan pendidikan inklusi tidak berjalan dengan maksimal.
Tanpa adanya perhatian dari pemerintah, tentunya menyebabkan sekolah tidak dapat menyelenggarakan pendidikan inklusi yang dicanangkan oleh pemerintah dengan baik dan sesuai dengan pedoman khusus penyelenggaraan pendidikan inklusi untuk mewujudkan gagasan pendidikan tanpa diskriminasi.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi masih ditemukan berbagai kendala, salahsatunya permasalahan sumber daya manusia yang sering ditemukan di sekolah dasar yaitu belum tersedianya guru pendamping untuk anak berkebutuhan khusus, tentunya hal tersebut akan menjadi kendala bagi guru kelas, karena siswa tidak akan tertangani dengan optimal.
Bagaimana tanggapan anda mengenai permasalahan tersebut? Jelaskan berdasarkan kajian teori dan kajian empiris (kajian teori/jurnal penelitian)!
Berikut referensi jawabannya:
LAPORAN KASUS
Judul Laporan: Analisis Permasalahan Ketiadaan Guru Pendamping Khusus (GPK) dan Implikasinya terhadap Efektivitas Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar
Tanggal: 25 Juli 2025
Disusun oleh: R. Nainggolan
A. Pendahuluan
Pendidikan inklusi merupakan amanat kebijakan pendidikan nasional dan global yang bertujuan untuk memastikan setiap anak, tanpa terkecuali, memperoleh hak pendidikannya dalam lingkungan belajar yang sama.
Filosofi dasarnya adalah penghargaan terhadap keragaman dan penolakan terhadap segala bentuk diskriminasi.
Akan tetapi, implementasi di lapangan seringkali menghadapi jurang yang dalam antara idealisme kebijakan dan realitas kapasitas penyelenggara pendidikan.
Salah satu kendala paling fundamental yang sering ditemukan di tingkat Sekolah Dasar (SD) adalah ketiadaan Guru Pendamping Khusus (GPK).
Kondisi ini secara langsung membebankan tanggung jawab penanganan siswa berkebutuhan khusus (ABK) sepenuhnya kepada guru kelas reguler.
Laporan ini bertujuan untuk menganalisis secara mendalam permasalahan tersebut berdasarkan perspektif teori pendidikan dan bukti-bukti empiris dari penelitian relevan.
B. Kajian Teori
Secara teoretis, penyelenggaraan pendidikan inklusi yang efektif bertumpu pada beberapa pilar utama.
Salah satunya adalah pembelajaran yang terdeferensiasi (differentiated instruction), yaitu sebuah pendekatan di mana guru menyesuaikan kurikulum, metode pengajaran, media, dan sistem penilaian untuk memenuhi kebutuhan belajar setiap siswa yang beragam.
Pelaksanaan pembelajaran terdeferensiasi untuk ABK menuntut pemahaman mendalam mengenai karakteristik, hambatan belajar, serta potensi unik yang dimiliki siswa tersebut.
Guru kelas reguler, yang dididik untuk mengelola kelas dengan spektrum perkembangan tipikal, seringkali tidak memiliki kompetensi spesifik dalam bidang ini.
Teori lain yang relevan adalah Kolaborasi dan Tim Pengajar (Co-teaching).
Model ini menekankan bahwa keberhasilan inklusi tidak terletak pada satu individu guru, melainkan pada sinergi antara guru kelas dan tenaga ahli lainnya, terutama GPK.
Dalam kerangka ini, GPK berperan sebagai spesialis yang merancang Program Pembelajaran Individual (PPI), memberikan intervensi khusus, mengadaptasi materi ajar, dan menjadi mitra diskusi bagi guru kelas dalam mengatasi tantangan belajar siswa.
Tanpa kehadiran GPK, pilar kolaborasi ini runtuh, dan guru kelas terpaksa bekerja sendiri dengan keterbatasan pengetahuan dan keterampilan.
C. Kajian Empiris: Temuan dari Literatur dan Jurnal Penelitian
Berbagai penelitian secara konsisten menunjukkan dampak negatif dari ketiadaan GPK di sekolah inklusi.
Sebuah studi yang mengkaji beban kerja guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusi menemukan bahwa guru kelas mengalami peningkatan stres dan beban kerja emosional yang signifikan.
Mereka merasa tidak kompeten, cemas, dan frustrasi karena tidak mampu memberikan layanan yang optimal bagi ABK, sementara pada saat yang sama harus memastikan target kurikulum untuk siswa lain tetap tercapai.
Hal ini berpotensi menurunkan motivasi mengajar dan bahkan memicu kelelahan profesional (burnout).
Dari perspektif siswa, penelitian menunjukkan bahwa ABK di kelas inklusi tanpa pendampingan GPK seringkali mengalami stagnasi akademik dan perkembangan sosial yang terhambat.
Mereka mungkin hanya terintegrasi secara fisik di dalam kelas, namun tidak terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Tanpa adaptasi yang sesuai, materi pelajaran menjadi terlalu sulit untuk mereka pahami, yang pada akhirnya dapat menyebabkan masalah perilaku sebagai bentuk frustrasi atau penarikan diri.
Hak siswa untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai kebutuhannya menjadi tidak terpenuhi secara substantif.
Lebih lanjut, dampak juga dirasakan oleh siswa reguler lainnya.
Ketika perhatian guru kelas secara tidak proporsional tersita untuk menangani satu atau beberapa ABK yang mengalami kesulitan, kualitas dan tempo pembelajaran untuk keseluruhan kelas dapat menurun.
Meskipun interaksi dengan ABK dapat menumbuhkan empati, situasi kelas yang kurang terkelola dengan baik akibat keterbatasan guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang kurang kondusif bagi semua siswa.
D. Analisis dan Tanggapan Saya
Berdasarkan paparan teori dan bukti empiris tersebut, saya memandang bahwa ketiadaan Guru Pendamping Khusus (GPK) bukanlah sekadar masalah kekurangan sumber daya manusia, melainkan sebuah kegagalan sistemik yang mengancam esensi dari pendidikan inklusi itu sendiri.
Mengharapkan guru kelas reguler untuk menjadi “superhero” yang mampu menangani 25-30 siswa reguler sambil memberikan layanan individual yang kompleks bagi ABK dengan berbagai spektrum (misalnya, autisme, ADHD, kesulitan belajar spesifik) adalah sebuah ekspektasi yang tidak realistis dan tidak adil.
Saya berpendapat bahwa kondisi ini menciptakan sebuah dilema serius bagi guru kelas. Di satu sisi, mereka memiliki tanggung jawab moral dan profesional untuk mendidik semua siswa.
Di sisi lain, mereka tidak dibekali dengan perangkat kompetensi, waktu, dan dukungan yang memadai untuk menjalankan tanggung jawab tersebut.
Akibatnya, yang terjadi bukanlah inklusi sejati, melainkan sebuah bentuk integrasi yang dipaksakan, di mana keberadaan ABK di kelas reguler hanya bersifat simbolis tanpa disertai layanan pendidikan yang adaptif dan berkualitas.
Kegagalan menyediakan GPK juga mencerminkan adanya diskoneksi antara kebijakan pemerintah dengan alokasi anggaran dan program pengembangan kapasitas di lapangan.
Pemerintah mencanangkan sebuah program yang mulia, namun tidak melengkapinya dengan infrastruktur pendukung yang paling vital, yaitu tenaga ahli.
Hal ini menyebabkan sekolah dan guru berada di garda terdepan untuk menanggung seluruh beban implementasi, yang pada akhirnya justru dapat menciptakan persepsi negatif terhadap program inklusi itu sendiri di kalangan praktisi pendidikan.
E. Rekomendasi Solusi
Untuk mengatasi permasalahan fundamental ini, diperlukan pendekatan multi-level yang melibatkan berbagai pihak, yaitu:
- Pemerintah (Pusat dan Daerah)
Harus ada kebijakan yang tegas mengenai standar minimal ketersediaan GPK di setiap sekolah penyelenggara inklusi, yang disertai dengan alokasi anggaran yang jelas untuk perekrutan dan penggajian.
Selain itu, program sertifikasi dan pelatihan bagi GPK perlu diperluas dan ditingkatkan kualitasnya.
- Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
Kurikulum pendidikan calon guru harus diperkaya dengan mata kuliah wajib mengenai pendidikan khusus dan strategi penanganan ABK.
Dengan demikian, semua calon guru, meskipun bukan GPK, memiliki pemahaman dasar yang lebih kuat mengenai inklusivitas.
- Pihak Sekolah
Sambil menunggu kebijakan pemerintah yang komprehensif, sekolah dapat mengambil langkah-langkah kreatif.
Salah satunya adalah dengan membentuk tim sumber daya (resource team) internal yang terdiri dari beberapa guru yang memiliki minat dan diberi pelatihan khusus, atau menjalin kemitraan dengan pusat terapi, universitas, atau komunitas peduli ABK untuk mendapatkan dukungan tenaga ahli secara berkala.
- Guru Kelas
Perlu secara proaktif mencari peluang pengembangan diri melalui pelatihan, seminar, atau bergabung dengan komunitas guru inklusi untuk saling berbagi pengalaman dan strategi.
Advokasi kepada kepala sekolah dan dinas pendidikan mengenai kebutuhan mendesak akan GPK juga penting untuk terus disuarakan.
F. Kesimpulan
Ketiadaan Guru Pendamping Khusus (GPK) di sekolah dasar inklusi merupakan kendala kritis yang secara langsung menghambat terwujudnya pendidikan yang adil dan bermartabat bagi anak berkebutuhan khusus.
Kondisi ini tidak hanya memberatkan guru kelas secara profesional dan emosional, tetapi juga mengorbankan hak-hak belajar ABK dan dapat memengaruhi kualitas iklim belajar secara keseluruhan.
Tanpa adanya komitmen nyata dari pemerintah untuk menyediakan sumber daya manusia yang kompeten dan dukungan sistemik yang kuat, gagasan pendidikan inklusi tanpa diskriminasi akan tetap menjadi wacana yang sulit diwujudkan di tingkat akar rumput.