Kategori
Edukasi

Penguatan Experiential Learning Melalui Diskusi dengan Rekan Guru

Saya merasa perlu mendiskusikan lebih lanjut mengenai perancangan asesmen otentik, peran guru sebagai fasilitator, adaptasi experiential learning dalam keterbatasan sarana, dan pengelolaan dinamika kelompok dengan rekan guru atau narasumber lain untuk mempertajam pemahaman saya.

Untuk mempertajam pemahaman anda mengenai experiential learning, Anda memerlukan orang lain yang dapat menjadi inspirasi. Apakah masih ada hal yang perlu Anda pahami atau ketahui lebih lanjut? Ayo diskusikan bersama dengan rekan guru lain atau narasumber lain!

Jawaban:

Setelah mendalami konsep dasar experiential learning, saya menyadari bahwa pemahaman teoretis merupakan langkah awal yang penting.

Untuk benar-benar menguasai dan menerapkannya secara efektif di dalam kelas, saya merasa perlu berdiskusi dan mendapatkan inspirasi dari praktisi lain.

Ada beberapa area spesifik yang masih menjadi pertanyaan dan memerlukan pendalaman lebih lanjut agar penerapannya tidak sekadar menjadi aktivitas tambahan, melainkan sebuah siklus pembelajaran yang utuh dan bermakna.

Salah satu hal mendasar yang perlu saya diskusikan lebih lanjut adalah tentang perancangan asesmen yang otentik dalam siklus experiential learning.

Saya memahami bahwa penilaian tidak lagi cukup hanya berfokus pada hasil akhir berupa angka atau skor tes.

Pertanyaan yang muncul dalam benak saya adalah, bagaimana cara merancang rubrik yang adil dan komprehensif untuk menilai proses yang dialami siswa?

Misalnya, bagaimana saya dapat secara objektif mengukur perkembangan kemampuan refleksi, inisiatif dalam bereksperimen, serta keterampilan kolaborasi siswa selama mereka menjalani sebuah pengalaman belajar.

Saya ingin belajar dari rekan guru yang sudah berpengalaman dalam menciptakan instrumen penilaian yang mampu menangkap esensi dari pembelajaran berbasis pengalaman ini.

Selanjutnya, saya masih ingin menggali lebih dalam mengenai peran guru sebagai fasilitator.

Teori menjelaskan bahwa guru harus bergeser dari “sumber utama pengetahuan” menjadi “pemandu proses belajar”.

Namun, dalam praktiknya, saya sering bertanya-tanya di mana batasan yang tepat antara memberikan arahan dengan membiarkan siswa menemukan jalannya sendiri.

Kapan saat yang tepat untuk saya melakukan intervensi ketika siswa menghadapi jalan buntu, dan seberapa banyak petunjuk yang boleh saya berikan tanpa merusak esensi penemuan mereka?

Diskusi dengan narasumber atau guru senior mengenai teknik-teknik bertanya yang provokatif namun tidak menggurui akan sangat membantu saya dalam mengasah keterampilan fasilitasi ini.

Aspek lain yang menjadi pemikiran kami sebagai pendidik adalah bagaimana mengadaptasi experiential learning dalam konteks keterbatasan sarana dan prasarana sekolah.

Seringkali, pembelajaran berbasis pengalaman diidentikkan dengan kegiatan di luar kelas atau proyek berskala besar yang membutuhkan sumber daya.

Kami perlu berdiskusi untuk saling berbagi ide-ide kreatif tentang bagaimana menciptakan pengalaman belajar yang konkret dan berdampak di dalam ruang kelas yang terbatas.

Mungkin melalui studi kasus, simulasi, permainan peran, atau proyek mini yang tidak memerlukan biaya besar, namun tetap mampu memicu siklus pengalaman, refleksi, konseptualisasi, dan aplikasi pada diri siswa.

Terakhir, saya merasa perlu mempertajam pemahaman tentang cara mengelola dinamika kelompok yang beragam saat menerapkan pembelajaran ini.

Setiap siswa datang dengan latar belakang pengalaman, tingkat kepercayaan diri, dan gaya belajar yang berbeda.

Tantangannya adalah memastikan setiap individu dalam kelompok mendapatkan kesempatan yang setara untuk berpartisipasi aktif dan merefleksikan pengalamannya.

Saya ingin berdiskusi dengan rekan-rekan guru mengenai strategi untuk mendorong siswa yang pasif agar lebih terlibat dan bagaimana mengelola siswa yang dominan agar dapat memberi ruang bagi yang lain.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *