Kategori
Edukasi

Setelah pelajaran PJOK, ada seorang siswa datang kepada Anda dan berkata bahwa ia merasa tidak percaya diri, sering diolok-olok teman, dan ingin berhenti mengikuti kegiatan olahraga karena malu

Setelah pelajaran PJOK, ada seorang siswa datang kepada Anda dan berkata bahwa ia merasa tidak percaya diri, sering diolok-olok teman, dan ingin berhenti mengikuti kegiatan olahraga karena malu.

Sebagai seorang guru PJOK yang memahami pentingnya pendekatan konseling dasar, keterampilan dasar apa yang Anda lakukan untuk menunjukkan sikap empatik dan membantu siswa merasa didengar dan dipahami?

A. Memberikan perhatian penuh, menjaga kontak mata, dan mengulangi inti ucapan siswa untuk menunjukkan Anda memahami perasaannya.

B. Menyarankan siswa untuk berani memberikan tanggapan kepada teman-temannya agar tidak terlihat lemah di depan siswa yang lain.

C. Langsung memberi motivasi seperti “Kamu harus kuat, jangan cengeng!” supaya siswa tidak merasa rendah diri.

D. Memotong ucapan siswa yang cenderung negatif agar Anda bisa langsung memberikan solusi sebelum waktu habis.

E. Menyuruh siswa tersebut untuk menceritakan masalahnya kepada teman sekelas agar merasa lega dan tidak menyimpan beban sendiri.

Jawaban:

Jawaban yang paling tepat adalah A. Memberikan perhatian penuh, menjaga kontak mata, dan mengulangi inti ucapan siswa untuk menunjukkan Anda memahami perasaannya.

Pilihan A menunjukkan keterampilan konseling dasar yang paling fundamental, yaitu mendengarkan aktif dengan empati.

Ketika saya memberikan perhatian penuh, saya akan menghentikan semua kegiatan lain dan memusatkan seluruh fokus kepada siswa.

Kontak mata yang terjaga menunjukkan keseriusan dan ketulusan saya dalam mendengarkan, yang merupakan langkah awal untuk membangun fondasi kepercayaan.

Dengan mengulangi inti permasalahannya menggunakan kalimat saya sendiri, seperti, “Jadi, saya menangkap bahwa kamu merasa sangat malu dan tidak percaya diri karena perkataan teman-teman, sampai kamu berpikir untuk berhenti ikut kegiatan olahraga, begitu ya?”, saya sedang melakukan teknik refleksi.

Langkah tersebut sangat penting untuk memastikan saya benar-benar memahami apa yang siswa rasakan dan alami, sekaligus membuat siswa merasa perasaannya diakui dan dihargai.

Pilihan B merupakan pendekatan yang kurang bijaksana pada tahap awal.

Menyarankan siswa untuk langsung melawan atau memberikan tanggapan balik kepada teman yang mengolok-olok dapat menempatkan siswa pada risiko yang lebih besar.

Seorang siswa yang sedang dalam kondisi emosional yang rapuh mungkin belum memiliki kesiapan mental untuk menghadapi konfrontasi.

Tindakan seperti itu bisa jadi memperburuk perundungan atau memicu konflik baru, bukannya menyelesaikan akar masalah dari perasaan tidak percaya dirinya.

Pilihan C, yaitu langsung memberikan motivasi berisi nasihat seperti “Kamu harus kuat, jangan cengeng!”, cenderung mengabaikan dan meremehkan perasaan siswa.

Kalimat tersebut dapat terdengar seperti sebuah penghakiman dan membuat siswa merasa bahwa perasaannya salah atau berlebihan.

Alih-alih merasa termotivasi, siswa justru bisa semakin menutup diri karena merasa tidak dipahami.

Sebuah pendekatan empatik mengharuskan saya untuk menerima dan memvalidasi perasaan sedih atau malu tersebut sebelum melangkah ke tahap pemberian solusi atau motivasi.

Memotong ucapan siswa, seperti yang disarankan pada pilihan D, adalah tindakan yang sangat kontraproduktif.

Siswa yang telah memberanikan diri untuk bercerita membutuhkan ruang yang aman untuk mengeluarkan semua beban pikiran dan perasaannya.

Ketika saya memotong pembicaraannya, saya secara tidak langsung mengirimkan sinyal bahwa ceritanya tidak penting atau saya tidak sabar untuk mendengarkannya.

Sikap ini akan merusak kepercayaan yang baru mulai terbangun dan membuat siswa enggan untuk terbuka lebih jauh.

Memahami masalah secara utuh adalah kunci sebelum menawarkan solusi apa pun.

Pilihan E bisa menjadi sebuah langkah yang berbahaya. Saya tidak mengetahui dinamika pertemanan di dalam kelas secara menyeluruh.

Menyuruh siswa untuk bercerita kepada teman sekelas, yang kemungkinan merupakan sumber masalahnya (para pengolok-olok), dapat memperparah situasi.

Hal tersebut berpotensi membuka peluang olokan yang lebih luas dan melanggar privasi serta kepercayaan yang telah siswa berikan kepada saya sebagai seorang guru.

Tugas saya adalah menjadi figur dewasa yang dapat dipercaya, bukan malah mengalihkan tanggung jawab penyelesaian masalah kepada teman sebayanya yang mungkin belum matang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *